Musim lalu tidak ada yang mengenal Vedad Ibisevic. Kini pemain yang sempat dijuluki pembunuh peluang itu berubah menjadi mesin gol Hoffenheim.
Sebuah potret tentang perjalanan hidup yang ditempa oleh perang dan kegetiran.
Setengah jam lamanya Vedad Ibisevic harus menunggu gilirannya bermain. Malam itu timnas Bosnia Herzegovina sedang kerepotan menahan gempuran tuan rumah Turki di hadapan 25.000 pendukung fanatiknya di stadion Inonu, Istanbul.
Papan skor menunjukkan hasil sementara 1-1. Namun betapapun gagahnya Bosnia bertahan, dewi fortuna akhirnya belum mau berpihak pada tim yang dijuluki "Zlatni Ilyilyani" alias si lila emas itu.
Skor 1-2 untuk kemenangan Turki pun semakin menjauhkan mimpi Piala Dunia buat Ibisevic dkk. Malam itu dan malam-malam selanjutnya bersama timnas, Ibisevic gagal merapal sihir yang ditunjukkannya di Bundesliga.
"Ada yang lebih buruk ketimbang gagal mencetak gol"
Bundesliga memang arena yang berbeda buat Ibisevic. Di sini ia menjelma manjadi mesin gol yang tak henti-hentinya menggetarkan jala lawan.
Dengan 18 gol, striker Hoffenheim itu saat ini memimpin daftar sementara pencetak gol terbanyak Bundesliga. Jauh meninggalkan pesaing terdekatnya, Patrick Helmes yang baru mengumpulkan sembilan gol.
Penampilan buruknya di tim nasional tidak lantas membuat Ibisevic terpuruk. Ia pernah melalui masa-masa yang jauh lebih sulit, sehingga satu atau dua kekalahan saja tidak akan membuatnya patah arang.
Betapapun juga, Ibisevic masih memiliki tatapan lembut kekanak-kanakan yang didapatnya dari masa kecil di Vlasenica. Bukan masa yang indah, seperti yang ditulis beberapa media Jerman. Pada saat itu, Ibisevic kecil bersama keluarganya terusir dari kampung halamannya ketika pecah perang Bosnia.
Di Tuzla, kota yang terletak di utara Sarajevo, Ibisevic berkenalan dengan Sepak Bola. Ia bermain dan terus bermain, melupakan sejenak kegetiran hidup di kamp pengungsi dan menemukan kegemaran barunya. "Bola yang kita pakai bahkan tidak lagi berbentuk bulat", kenang Ibisevic akan hari-hari ketika Nevzet Hasanbasic, bekas pemain Sloboda Tuzla di liga utama Yugoslavia, melatih anak-anak remaja di daerah kumuh Slavinovia.
Mereka, termasuk juga Ibisevic, bermimpi suatu saat bisa terkenal layaknya Blaz Sliskovic, bintang Bosnia di dekade 80-an yang bermain untuk Olympique Marseille. Atau setidaknya bermain di liga utama Serbia seperti sang pelatih sendiri, Hasanbasic. "Ketika itu dia muda, keren, dan banyak mengajarkan kita trik bermain sepak bola."
Di usia 16 tahun, Ibisevic terpaksa melupakan sejenak mimpinya itu. Bersama sang ibu, Ibisevic mencoba melarikan diri dari kemiskinan melalui Swiss menuju St. Louis dan akhirnya mendarat di Amerika Serikat, di mana saudaranya sudah lebih dahulu bertempat-tinggal.
Meski terhalang kendala bahasa, Ibisevic nekat bermain sebagai penyerang di Roosevelt High School sampai akhirnya tahun 2003 diangkat sebagai Rookie of the Year di Universitas St. Louis.
"Waktu itu semuanya berjalan baik dan nyaman. Tapi saya tahu, sepak bola terbaik cuma dimainkan di Eropa dan saya ingin kembali ke sana", imbuhnya. "Pada liburan musim panas, saya dipanggil Ibrahim Zukanovic ke pusat pelatih U21 Bosnia. Di sana saya bertemu Vahid Halilhodzic", kenang Ibisevic tentang titk balik dalam hidupnya itu.
Halilhodzic adalah bekas pahlawan Bosnia di tahun 80-an yang sukses merebut gelar pencetak gol terbanyak Perancis dua kali berturut-turut. Setelah pensiun, ia mengambil alih posisi pelatih di klub Paris St. Germain dan kebetulan membutuhkan darah segar di lini depan.
Dibuang lalu ditemukan kembali
Tanpa berpikir panjang Ibisevic segera menerima tawaran Halilhodzic dan meninggalkan Amerika. Namun sayangnya kesuksesan yang lama diimpikan gagal menjadi kenyataan. "Saya cuma dimainkan beberapa kali dan ujung-ujungnya dipinjamkan ke Dijon di divisi dua."
Dalam hidup Ibisevic, kepahitan tak pernah menyisakan luka. "Saya bekerja keras. Lebih keras ketimbang yang lain." tandasnya berusaha terdengar tenang layaknya pesepakbola usai mengecap buah kesuksesan.
Sepuluh gol yang dicetaknya di divisi dua Perancis cukup menarik perhatian Alemannia Aachen untuk segera menyodorkan kontrak dua tahun di Bundesliga.
"Di Aachen segalanya berjalan baik buat saya", imbuh Ibisevic meski klubnya terdegradasi di akhir musim. Sangking baiknya, sampai-sampai pelatih Guido Buchwald murka ketika TSG Hoffenheim meminang striker Bosnia itu. "Saya mendapat tawaran yang tidak mungkin saya tolak," ujarnya berdalih.
Keberhasilan Hoffenheim menembus Bundesliga tak disia-siakan IbisevicDi musim pertamanya bersama Hoffenheim, Ibisevic masih sering mendengar makian pendukung terhadapnya. Dari 31 pertandingan - 22 sebagai pemain pengganti - Ibisevic cuma mampu mencetak lima gol. Tak pelak, julukan sebagai "pembunuh peluang" sempat melekat erat padanya. "Dia bisa keluar dari situasi yang sulit, karena mentalnya yang kuat", puji Manajer Hoffenheim, Jan Schindelmeiser.
Adalah kegetiran perang yang membentuk karakter Ibisevic. "Jika penampilan saya sedang buruk," ujarnya, "maka saya mengingat masa-masa di Bosnia. Ada yang jauh lebih mengerikan ketimbang tidak bermain atau gagal mencetak gol."
Musim ini segalanya berjalan mulus buat Ibisevic. Di awal musim, ia memanfaatkan kesempatan yang muncul ketika Chinedu Obasi dipanggil timnas Nigeria untuk Olympiade, dan segera membuktikan ketajamannya.
Dua gol di Cottbus, dua gol di Hannover dan satu gol penentu kemenangan di Mönchengladbach - julukannya sebagai pembunuh peluang pun lenyap ditelan gelegar para pendukung yang dimabukkan oleh sepak terjang Hoffenheim di Bundesliga.
"Tahun lalu saya kehilangan beberapa peluang, dan kepercayaan diri saya langsung hilang. Tahun lalu memang bukan tahun saya. Tapi musim panas kemarin saya bersumpah, bahwa saya akan kembali sebagai pemain yang lebih baik dan sekarang semunya berjalan sempurna." Betul saja, starting Line-up, pencetak gol terbanyak, peringkat kedua di klasemen - ya, semuanya terlihat sempurna, hanya saja sampai kapan?